Pages

3 Juli 2010

Almost Lost Father

Aku pernah, seperti kehilangan ayah satu hari. Aku belum cerita ya, kisah hari Minggu itu.

Aku lagi main komputer nge twitter. Terus tiba" dateng seorang wanita paruh baya yang cukup cantik, menanyakan keberadaaan orang rumah. Pertamanya Mbak yang menerima tamu, tapi kemudian memanggilku.

“Dek, cepet dek ada yang nyariin. Katanya ayah jatoh pas lagi main tenis.”
Masya Allah! Langsung aku bergegas ke depan, ketemu tante itu.
“Ca, ayahmu jatoh pas tadi lagi main tenis. Ikut tante ya sekarang. Kamu bisa nyetir ? «
Gw diem dulu awalnya. « Engga tante. »
"Yaudah sekarang mah ikut aja dulu. "

Gw ambil hape, duit yang ada di amplop tabungan pulsa. Lalu langsung cepetan ikut tante. Di jalan gw udah istigfar aja berdoa sama Allah.

Ngga lama memang, jarak dari rumah aku ke lapangan tenis. Emang di satu komplek sih. Oke. Pas aku masuk, aku menemukan ayah tengah duduk sembari memegang kepalanya.
"Yah, ayah ngga pa-pa?"
(Sambil terus memegang kepalanya) "Ayah jatuh, itu darahnya." (sambil nunjukin tisu"sebelumnya yang emang udah kena darah)
Aku lihat, emang ngga begitu banyak sih. Yaudah, aku mijitin bahu ayah. Berusaha merilekskan beliau.
Ayah angkat bicara. "Jadi saya tadi main sama...?"
"Sama pak Tris, lawannya saya."
"O sama pak Tris, ya saya lagi mengembalikan memori."
"Ayah kenapa, pusing ngga?"
"Engga, cuma lagi mengembalikan memori."
"Ooh." aku terus memijit bahunya.
"Mama kemana?"
"Kan di cianjur Yah."

Ayah diam. Aku diam. Bingung harus kayak gimana. Handphoneku berdering. Dari sang uni.
"Ca, katanya ayah jatoh ya?"
"Iya ni. Skarang ica lg sama ayah."
"Gimana keadaannya."
"Ga pa-pa kok ni," sahutku padahal belum yakin itu benar.
"Uni perlu ke sana ngga?"
Aku udah ngga konsen, pingin nutup telfon trus beralih ke ayah aja nemenin beliau.
"Ngga kok ga pa-pa."

Telfon ditutup, aku ke ayah lagi. Ayah masih bertanya-tanya.
"Jadi tadi saya main sama siapa?"
"Pak Tris, pak." jawab temen ayah.
"O iya, saya lagi mengembalikan memori nih." jawab ayah sambil memainkan tangannya di kepala.
Waduh! Udah feeling ngga enak nih. Ayah kok nanyanya berulang-ulang ya?
"Pak sekarang bapak sebaiknya ke dokter aja dulu."
"Iya Yah, ica temenin. Cek dlu ya."
"Hah, eng.... istirahat dirumah ajalah."
"Yaudah, mari saya antar."
"Ca ambilin tas tenis ayah Ca. Bawain ya."
Aku menuju ke mobil. Jelas-jelas disitu ada mobil Ayah yang emang dibawa dari pagi. Tapi pas ditanya, "Bapak bawa mobil?"
"Engga,"dan ketika itu hampir kami udah mau masuk ke mobil temen ayah yang mau nganterin.
Tapi lalu ayah melihat ada kunci mobil di tas bagian depan. "Oh Ayah bawa mobil ya Ca."
"Iya Yah," sahutku perlahan.

Ayah benar-benar seperti bukan orang sakit. Bawa mobil seperti orang normal. Nyaman, dan beloknya pun tau dimana. Temen Ayah mengiringi dari belakang.

Sampai di depan rumah, sesaat Ayah hendak menjalankan niatnya untuk istirahat dirumah saja, teman Ayah membujuk beliau untuk bergegas ke rumah sakit. Dalam hatiku sih setuju sekali, dan aku turut membujuk Ayah supaya ke dokter untuk cek dulu. Akhirnya, Ayah mau juga.
Oke. Kita ke RS Azra. Di jalan, ayah terus mengucapkan kalimat yang sering sama.
"Ya paling nanti di dokter dikasih apa ya ini? Obat penenang?"
"Ica bawa duit ngga?"
"Jadi tadi saya main sama?"
"Mama kemana, Ca? Milla dimana?"
"Saya lagi mengembalikan memori nih."
Terus saja diulang-ulang. Dalam hati aku sedih mendengarnya, kayanya emang ada yang salah gara-gara ayah jatuh tadi. Mungkin benturannya terlalu keras.

Di Azra, kita ke UGD. Tapi mesti administrasi dulu. Aku urusin, dan pada saat itu ayah ga bawa ktp. akhirnya mbak"nya bilang gapapa. Makasih deh mbak.

Kita menuju UGD. Ayah masuk, melepas sepatu, dan kaos kakinya. PErsis seperti orang biasa saja. Yang ngga luka.

Di dalam, Ayah disuruh berbaring. Lalu Suster memeriksa kepalanya. Aku sempet lihat. Ya, memang keluar darah dari situ. Lukanya seperti baretan, dan darahnya tidak banyak, namun berkumpul di daerah luka itu. Suster mengelapnya, membersihkan dengan kapas perlahan. Lalu menunjukkannya kepada Ayah dan aku juga.

Suster sambil bertanya, "Bapak tadi jatuhnya gimana?"
"Tidak tau Sus, teman saya yang tau."
"Oke gapapa. Bapak punya anak berapa?"
"4"
"Bapak anaknya laki atau perempuan?"
"1 lelaki, 3 perempuan."
Dan aku simpulkan sang suster lagi mengecek kesadaran dan ingatan Ayah. Alhamdulillah untuk hal-hal mendasar seperti itu beliau masih ingat.

Aku, saat itu takut. Pertama kalinya aku sendirian di rumah sakit, satu2nya anggota keluarga yang menemani Ayah yang sedang sakit karena terbentur kepalanya.

Lalu dokter memberikan resep obat, dan aku pergi ke apotik untuk mengambilnya. Sempet lama juga sih nunggunya, tapi akhirnya dapet juga. Untung deh duitna cukup. Trus aku sama 2 temen Ayah (Pak Eri dan Pak Harsono) kembali ke UGD, jemput ayah buat pulang ke rumah lagi.

Di mobil, ayah sering mengungkapkan hal yang sama berulang-ulang.
"Waduh, saya jadi ngerepotin pak harsono nih.""Mama dimana, Ca?"
"Jadi tadi saya main sama?"

Alhamdulillah sampe di rumah, aku ngucapin terima kasih sama temen2 ayah itu.
Awalnya, semua berjalan biasa saja. Sampai akhirnya si Mbak menyadari kalau Ayah berbeda.
"Dek, ayah kenapa? Kok nanyanya berulang-ulang gitu sih?"
"Iya mbak ica juga gatau. mbak mun tolong yah please bersikap biasa aja sama beliau, soalnya ica juga ngga ngerti."
Trus Mbak langsung nangis. Aduh tolong Mbak, jangan nangis sekarang. Tolong. Kita semua harus kuat. Berdoa aja semoga Ayah ga kenapa-kenapa.
Aku berusaha bersikap tegar dihadapan ayah, walaupun sebenarnya hatiku miris. Saat itu, yang aku ingat adalah, beliau paling banyak menanyakan keberadaan Mama. Setiap aku menjawab, hatiku semakin pedih. Nggak tega melihatnya nanya seperti orang bingung.
Aku benar-benar mencoba biasa saja. Layani beliau. Jawab setiap beliau tanya.
Ya, aku bahkan mencoba tertawa disaat sebenarnya aku sangat sedih. Aku candakan beliau, ketika kami tengah mengobrol di meja makan. Aku suruh beliau untuk makan, lalu minum obat. Ya, beliau mau. Walaupun prosesnya cukup panjang. Karena beliau selalu bertanya-tanya hal yang sama.

Steelah minum obat, aku bujuk dia untuk tidur. Habis, sesuai saran dokter Ayah harus banyak istirahat. Jadi aku fikir pasti bisa pulih kalau ayah istirahat, tidur sianglah seperti itu. Tapi Ayah masih berniat untuk sholat terlebih dahulu. Oke, aku biarkan.

Tetapi kau tau apa? Selesainya beliau tahiyatul akhir, beliau bangkit kembali dan takbiratul ihram. Oke, mungkin beliau sedang melanjutkan sholat sunah. Tapi.... tidak tidak. Selesainya tahiyat terakhir, beliau bangkit lgi dan memulai sholat kembali. Ayah, apa yang ada di fikiranmu wahai Ayahanda? Ada apa denganmu? Speerti ada yang tidak beres. Saat itu aku masih terus beristigfar dan bersabar.

Ketika Ayah hendak membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, lantas bel berbunyi. Hmm sepertinya kami kedatangan tamu. Dan benar, ada kakak dan adik ayah yang ingin bertemu. Aku tau, pasti mereka tau dari Mbak.
Ayah keluar masih dengan pakaian olahraga yang belum sempat digantinya, dan dengan lilitan sarung bekas sholat tadi.
"Eh Tini, Yogi."
"Ya, Da Ris."
"Gimana kondisi Da Ris?"
"Iya nih tadi jatuh pas lagi main tenis. Tini & Yogi tau dari siapa?"
Kemudian datang saudara Ayah yang lain.
"Eh, Salmah, Dirman.""Gimana kabar Da Ris, lai aman?"
"Lai. Salmah & Dirman tau dari siapa?"
Ayah selalu menanyakan kalimat itu. Berulang-ulang. Lambat laun akupun jadi terbiasa mendengarnya. Tapi mungkin tidak bagi mereka. Ya, biarlah, sepertinya mereka sudah mengerti.

Saudara-saudara Ayah membantu merawat Ayah. Ada yang memberikan air putih yang sudah didoakan, ada yang mengganti kain kassa penutup luka di kepala, ada yang mengajak beliau ngobrol, dan semuanya aku rasa membantu sekali. Kalau hanya ada aku dirumah, entah apa yang akan terjadi. Mungkin aku sudah pusing & kebingungan.

Untungnya ada mereka. ternyata benar prinsip Ayah, ketika kita baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap kita. Di saat kita susah, mereka pasti mau membantu.

Waktu berjalan, akhirnya sang kakak datang juga. Aku ajak dia masuk kamar, dan menceritakan kronologisnya. Oke, selesai.
Aku sempat sms mama.
"Ma, kalau udah slesai urusannya pulang ke rumah ya. Ica ada disni." dengan maksud tidak membuatnya khawatir. tapi kayaknya beliau sudah tau keadaan ayah. Lagi-lagi dari si Mbak.
"Iya Ca. Mama segera pulang. Ini terjebak macet. Temani ayah trus ya. Doakan smg ga knp2."
Mama, betapa besarnya jiwamu. Disaat mendengar kabar seperti ini pun, kau masih tetap bisa menenangkan aku.

Dan... Mama akhirnya datang. Aku salam sama beliau. Dan menceritakan kejadian dari awal di depannya. Aku duduk di meja makan bersama dan berkumpul dengan saudara2 ayah yang lain. Jadi sekaan2 aku narasumber yang membeberkan ceritanya. mereka mendengarkan aku.

Aku bisa melihat senyum getir Mama. Beliau mencandakan Ayah, mengajaknya tertawa. Tetapi aku tau dalam hatinya cemas.
"Ayah masih ingat kan istrinya siapa?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke Ayah, sambil senyum-senyum kecil meledek.
"yaa masihlah." Ayahpun ikut tersenyum. Saudara2 yang lain ikut tertawa.

Aku sempat tertidur. Mungkin karena kelelahan secara fisik dan kebingungan secara mental. Ssat itu aku ngga tau yang terjadi diluar kamar apa. Yang aku dapatkan, ayah sudah mengganti kain kassanya dan katanya sih itu diganti sama Tante. terus katanya sih mama dan tante ke dokter azra lagi, nanyain riwayat sakit ayah tadi pas lagi diperiksa gimana. ngecek tensinya juga. waduh ternyata tinggi banget euy.

Sholat Ashar. Ayah menanyakan hal ke Mama yang membuat hatiku miris.
"Ayah tugasnya apa sih?"
"Ayah kenapa Ma? Kok kepala ayah di perban sih?"
"Hari ini hari apa Ma?"
"Tugas ayah apalagi sih?"
"Ini kepala kenapa Ma? "
"Seakrang hari apa?"
Ya Allah, tolong kuatkan kami. Pulihkanlah kondisi beliau ya Allah.

Terus Uda & Uni menelepon. Saat itu terungkaplah smuanya. Mama cerita tentang keadaan ayah belakangan ini. Memang ayah sedang banyak masalah. banyak fikiran. Kebetulan telfon paralel, jadi aku turut ikut dalam perbincangan. Ya Allah, jadi begitu ya perasaan beliau. Benar-benar ngga bermaksud. Ampuni hamba ya Allah.

Seperti sugesti Uda & UNi, kami melakukan CT scan, katanya sih biar earlier diagnostic. Oke, akhirnya dianter tante salmah dan om, ke pmi. sebelumnya sempet minta surat pengantar dari azra.

sepulang darisitu, ada tetangga yang dateng. mereka semua datang karena mendapat kabar dari si Mbak (ya siapa lagi) awalnya sih mau minjem tensimeter karena tetangga itu ada yang dokter, tapi ternyata lagi ngga ada. akhirnya beliau hanya berniat menjenguk Ayah.

Saat itu aku menyadari banget bahwa ayah sudah bisa tertawa. Sebelumnya muraaam terus. Tapi pas ngobrol" gitu, aku udah bisa melihat wajahnya lebih bersinar.

Tamu datang silih berganti. Terus kami kedatangan saudara ayah yang lain: Om Dirman & Istri. Lalu kemudian teman Ayah yang bernama Pak Yanuar & istri.

Pak Yanuar cerita, dia di telfon teman main ayah bernama Pak Eri. aku tau kenapa. soalnya ayah tadi sempet nelfon Pak Eri sambil nanya2 hal yang sama. Aku yakin Pak Eri sudah tau hal yang agak aneh sama ayah. Dan mungkin Pak Eri menyarankan Pak YAnuar mengecek kondisi Ayah.

Pak Yanuar orang yang asyik. Ayah bisa ngobrol pake gw-lu sama Pak Yanuar. Ayah juga banyak ketawa. Pak Yanuar emang orang yang gaul kayanya. Katanya sih temen sekampus Ayah dulu. Oh, i see. Oh ya, yang kebetulan banget ya. Beliau punya tensimeter! Alhamdulillah, yang digital pula. Jadi banyak terbantu deh. Beliau meminjamkan kepunyaannya. Dan mengajarkan cara memakainya kepadaku. Wah, aku malu sekali saat itu dtonton banyak orang di ruang tamu. Disuruh mempraktekkan ke Om, latihan katanya.

Sehabis itu, ada Ustad yang dipanggil Tante. Katanya sih itu suruhan dari Tante Susi yang ada di Belanda. Yaampun, koneksinya cepat sekali. Tante yang di Belanda pun bahkan sempat menelefon orang yang ada di Bogor untuk memeriksa kondisi AYah.

Ya, ustad itu berusaha mengobati ayah. Di ruang kluarga. Sempat bertanya ayah lahir hari apa, dsb. Ustad menyuruh ayah meminum air tajin dicampur sari kurma madu.

Malam semakin larut.

Aku mulai capek. Aku tidur di kamar ayah. Ada mama juga disitu.
Ternyata, Ayah masih kepikiran karena besoknya ada tugas di Manado.
Tapi bagaimana bisa kami melepasnya pergi dengan kondisi seperti itu? Masih belum pulih kan.
Di sela-sela tidurku, aku masih bisa mendengar ayah dan mama berdiskusi tentang esok hari. aku bisa merasakan dari ujaran2 ayah bahwa beliau masih belum pulih sepenuhnya, dan mama juga melarang. akhirnya diputuskan ayah ga jadi ke manado.

Keesokan harinya, ayah mulai membaik. Sudah tidak bertanya yang berulang lagi. Tapi ayah mengutarakan keinginannya untuk tidak ditinggal, dan minta ditemani. Oke, kebetulan aku juga lagi libur kok Yah. Terus Mama izin dari kantornya. Hari ini kamu mau menemani Ayah.

Sedikit demi sedikit Ayah jadi lebih baik. Apalagi setelah tidur siang stelahnya, terlihat lebih segar. Ternyata memang benar ya, kata mama, ayah sebelum hari jatuh di lapangan tenis itu, emang kurang tidur. banyak fikiran, dan kurang istirahat. jadi kondisi fisik pasti lemah. udah rapuh. semangat saja yang besar.

hmmm ayah mulai penasaran sama yang terjadi kemarin.
"Ayah bener2 ngga inget apa2 pas jatuh kemarin ca."
"Itu semua ngga ada di memori ayah."
daan ungkapan2 lain yang ayah bener2 bingung kenapa bisa kaya gitu ya.

Dan terjawab sudah ketika hasil CT scan keluar, dan dokter neurologi bilang.
"Ya, kondisi nya tidak apa2. tidak ada penggumpalan darah di dalam otak. Waktu itu tidak ingat karena bapak mungkin terkena temporal amnesia. jadi lupa sesaat."

Aku sekarang bener2 percaya kalau yang namanya amnesia itu ada. aku kira itu hanya di sinetron2 saja (cinta fitri lagi hits pula sih, si farel kan hilang ingatan jadi si mbak & uni sempet hubung2in sama itu film deh)

Kepala itu bagian yang sangat vital. Ada otak sebagai pusat aktivitas dan keseimbangan kita. Kalau sistemnya terganggu, bisa berdampak negatif.

Otak itu kayak CPU nya komputer. Kalau pita memorinya keganggu, misalnya kena virus, menyebabkan komputer tidak dapat men-save dokumen yang telah dibuatnya. Aktivitas program tetap ada, tetapi hasil simpanan tidak tersedia.

Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Kuasa.
Terima kasih telah mengembalikan ayahku seperti sediakala.

With love,
Icaaldyra